Tidak ada hubungan yang berjalan tanpa masalah. Umumnya akar masalah atau sumber konflik datang karena perbedaan antar individu. Namun hubungan memang bukan tentang menjadi sama, tetapi menjadi satu.
22 Juli 2020 saya mengikuti sebuah webinar yang diadakan oleh GMS Surabaya dimana Ps. Jose Carol menjadi narasumbernya. Webinar ini berbicara mengenai Healthy Homes, Konflik Sehat dalam Pernikahan.
Walaupun saya sendiri belum menikah, tapi mengikuti webinar ini jelas sangat mencerahkan. Apa yang dijelaskan lebih dari sekedar untuk kehidupan berkeluarga, sebagai pondasi pernikahan kelak, namun bisa digunakan juga dalam kehidupan sehari-hari, dalam hubungan dengan teman, pacaran, hubungan dengan rekan kerja, dan lainnya.
6 Akar Masalah atau Sumber Konflik dalam Sebuah Hubungan
1. Latar Belakang
Latar belakang adalah tentang bagaimana kita terbentuk dan dibentuk. Mengenai keluarga dimana kita tumbuh, budaya, suku, bahasa, kebiasaan, tingkat pendidikan, status sosial, ekonomi, dan banyak faktor lainnya.
Latar belakang dapat menciptakan banyak perbedaan, perbedaan cara berkomunikasi, cara mengatur keuangan, pembagian peran dalam rumah tangga, kebiasaan-kebiasaan dalam hidup, keteraturan, cara menghadapi masalah, kemandirian, dan lain-lain.
Masing-masing pihak harus berani menerima perbedaan, karena latar belakang adalah masa lalu yang tidak akan bisa diubah.
2. Mindset
Mindset (cara pikir atau pola pikir) adalah bagaimana cara kita memandang suatu hal, perspektif. Cara memandang hidup, asumsi apa yang kita pikirkan, dan cara menganalisa.
Mindset terbentuk sejak masa kecil, bagaimana kita diajarkan dan pengalaman yang kita alami akan membentuk sudut pandang kita. Mindset ini pada akhirnya akan mempengaruhi respon kita.
Ada yang memiliki mindset uang adalah akar masalah, customer selalu bikin repot banyak tanya doang, tidak ada pasangan yang setia, dan lain-lain. Pemikiran ini tentu akan berdampak ke sikap mereka ketika berhadapan dengan hal tersebut.
Untuk mencapai kesatuan, satu tujuan, satu visi, di dalam hubungan harus sering terjadi tukar pikiran agar dapat saling memahani pola pikir masing-masing.
3. Kepribadian
Setiap orang harus tau kepribadiannya, dan lebih baik lagi kalau tau kepribadian pasangannya agar dapat lebih saling mengerti. Kepribadian dapat berubah seiiring waktu, usia, pekerjaan, lingkungan, dan sebagainya.
Sudah cukup banyak studi mengenai kepribadian, misalnya pengelompokan sanguin, melankolis, plegmatis, dan koleris; DISC (Dominance, Influence, Steadiness, dan Compliance); dan lain-lain. Salah satu yang cukup terkenal dan berkembang belakangan ini adalah MBTI (Myers-Briggs Type Indicator) yang membuat pengelompokan 16 tipe kepribadian.
Mempelajari kepribadian selalu menarik karena kadang kitapun baru menyadari kepribadian kita setelah mengikuti tes.
“Oh iya, ini gue banget!”, “Bener juga ya..”, “Kok tau sih!”, begitu biasanya reaksi orang setelah membaca hasil tesnya.
Sebaliknya, kegagalan dalam dalam mengerti kepribadian dapat membuat kita merasa frustasi.
Untuk mencoba tes kepribadian MBTI (16 personalities) dan tes bahasa kasih, silahkan lihat di sini: Mengenal Diri Lewat Tes Kepribadian dan Bahasa Kasih.
4. Bahasa Kasih
Bahasa kasih juga salah satu hal yang perlu diketahui bersama orang yang kita kasihi. Bahasa kasih berbicara mengenai dengan cara apa sesorang bisa merasa dikasihi.
Ada orang yang merasa dikasihi ketika diberikan kata-kata yang penuh cinta, ada yang merasa dikasihi ketika memiliki quality time bersama, diberikan hadiah, mendapat sentuhan fisik seperti menepuk pundak, bergandengan tangan, dan ada yang merasa dikasihi jika mendapat pelayanan seperti dibuatkan teh atau dibuatkan sarapan.
Bahasa kasih perlu dipahami agar tidak terjadi salah paham. Bayangkan ketika kita ingin menunjukan kasih kepada pasangan dengan banyak memberi hadiah, padahal ia merasa dikasih dengan kata-kata karena bahasa kasihnya adalah words of affirmation. Di satu sisi kita akan merasa effort kita tidak dihargai, di sisi lain orang tersebut tidak begitu merasakan kasih yang kita berikan.
Tanpa mengerti bahasa kasih masing-masing, kita akan seperti orang yang berbicara dengan bahasa yang berbeda. Terus berbicara, namun pesannya tidak sampai.
5. Nilai
Nilai hidup atau core value yang dipegang orang bisa berbeda-beda.
Ada orang yang menganggap suatu hal sebagai prinsip, need to have, ada yang menganggap hanya nice to have, bahkan mungkin ada yang menganggap tidak perlu.
Misalnya tentang kerohanian, kejujuran, dan keterbukaan.
Ada orang yang menganggap kerohanian adalah sesuatu yang sangat penting, di sisi lain ada orang yang tidak percaya dengan hal-hal rohani. Ada yang menganggap keterbukaan penuh adalah syarat dari sebuah hubungan yang sehat, di sisi lain ada orang yang merasa tetap perlu ada privacy dalam hubungan.
Nilai-nilai ini adalah pondasi yang akan menentukan sikap seseorang. Nilai juga merukapan hal yang sangat sensitif dan dapat menjadi akar masalah yang besar ketika tidak dihargai atau dikonfrontasi.
6. Kedewasaan
Kedewasaan bukan berbicara tentang umur.
Kedewasaan adalah kemampuan untuk melihat dari sudut pandang orang lain, put oneself in someone’s shoes.
It takes two to tango, dalam setiap konflik pasti ada dua belah pihak, dan salah satunya adalah kita. Kita salah satu aktor dalam konflik tersebut. Pilihan kita menentukan jalan cerita. Apakah kita mau berdamai atau terus berperang?
Apakah kita selalu ingin dimengerti, selalu menganggap orang lain tidak pernah mengerti kita, memperjuangkan ego pribadi? Atau mau mulai belajar memahami orang lain dan meruntuhkan ego kita?
Kedewasaan dapat menjadi akar masalah, namun dapat juga menjadi solusi bagi akar masalah yang lain.
Poin-poin di atas adalah hal yang dapat menjadi akar masalah dan sumber konflik dalam sebuah hubungan.
Hubungan bukan untuk dipaksakan, sebelum melangkah ke tahap yang lebih jauh sebaiknya saling mengenal terlebih dahulu. Selanjutnya adalah tentang berusaha untuk bertumbuh dan menjadi dewasa, menjadi satu.
Semoga bermanfaat.
Pingback: 3F: Jurus Menyelesaikan Konflik | Herwin Lab