Salah satu tema paling menarik dalam khazanah astrofisika adalah mass extinction alias pemusnahan massal. Ini adalah peristiwa dimana populasi dan kelimpahan makhluk hidup di Bumi mendadak menyusut dalam skala waktu yang sangat pendek (kurang dari 1 juta tahun, teramat singkat dalam skala waktu geologi) dibanding semula.
Dalam 500 juta tahun terakhir di Bumi terjadi sedikitnya episode pemusnahan massal berskala besar, yakni:
- 435 juta tahun silam (akhir Ordovisian)
- 374 juta tahun silam (akhir Devon)
- 250 juta tahun silam (batas Permian-Trias)
- 201 juta tahun silam (akhir Trias)
- 65 juta tahun silam (batas Kapur-Tersier)
Yang terakhir ini memang terpopuler sebab pada saat itulah kawanan reptil raksasa dinosaurus musnah bersama 75 % makhluk Bumi saat itu. Namun pemusnahan massal terdahsyat terjadi 250 juta tahun silam kala 96 % populasi makhluk hidup mendadak lenyap.
Baik pemusnahan massal pada batas Permian-Trias maupun pada batas Kapur-Tersier diduga kuat berkaitan dengan kejadian tumbukan benda langit raksasa yang terkoneksi
dengan banjir lava basalt. Pemusnahan massal 250 juta tahun silam diduga erat terkait dengan terbentuknya Kawah Bedout (diameter 200 km) di Australia Barat sebagai kawah satelit dan kawah Wilkes Land (diameter 400 km) di Antartika sebagai kawah utama serta banjir lava basalt di Siberia. Rekonstruksi posisi kedua kawah untuk waktu 250 juta tahun silam menunjukkan keduanya berada di zona Kutub Selatan masa itu, sementara pusat banjir lava basalt Siberia berada di dekat Kutub Utara masa itu, atau di sekitar antipode (titik-lawan) kawah Bedout dan Wilkes Land.
Sementara pemusnahan massal di batas Kapur-Tersier diduga kuat terkait dengan terbentuknya Kawah Chicxulub di Mexico (diameter 200 km) dan banjir lava basalt Dekan di India. Sama juga, rekonstruksi pusat banjir lava basalt Dekan untuk 65 juta tahun silam menunjukkan dirinya berada di sekitar antipode Kawah Chicxulub. Belakangan di sekitar lokasi banjir lava ini juga didapati kawah tumbukan lain yang tak kalah besarnya, Kawah Shiva (panjang 600 km lebar 450 km) yang juga terbentuk 65 juta tahun silam. Rekonstruksi posisi kawah Chicxulub dan Shiva ini untuk waktu 65 juta tahun nsilam menunjukkan keduanya memang berada dalam sistem pode-antipode alias saling berseberangan.
Salah satu ‘substansi penghancur’ dalam pemusnahan massal adalah kadar CO2 yang sangat berlebih di atmosfer, yang menyebabkan pemanasan global. Pada pemusnahan massal 250 juta tahun silam kadar CO2 di atmosfer mencapai 3.000 ppm atau 0,3 %. Sementara dalam pemusnahan massal 65 juta tahun silam kadar CO2-nya ‘hanya’ 1.000 ppm. O’ Keefe dan Aherns (1989) menyimulasikan, dengan basis kadar CO2 masa kini yang diasumsikan 350 ppm, tumbukan asteroid batu/besi berdiameter 10 km ataupun komet berdiameter 14 km akan membuat kadar CO2 di atmosfer melonjak hebat hingga 1.500 ppm oleh melelehnya sedimen karbonat yang menjadi target tumbukan dan kebakaran hutan global yang menjadi dampak lanjutan dari tumbukan. Implikasinya suhu rata-rata permukaan Bumi pun naik 10ºC dari nilai semula. Padahal kenaikan suhu rata-rata sebesar 4ºC saja sudah cukup untuk meleburkan seluruh gletser yang tersisa di Bumi dan juga padang es di Arktik dan Antartika. Terjadinya pemanasan global pada 250 juta tahun silam dan 65 juta tahun silam dapat diketahui dari anomali rasio isotop C-13/C-12 yang berharga 0,4 (padahal normalnya hanya 0,27).
Kini atmosfer Bumi kita mengandung CO2 sebanyak 375 ppm (nilai tahun 2005). Oleh pemakaian bahan bakar fossil yang diimbangi dengan pembabatan hutan secara besar-besaran, maka terjadilah penambahan CO2 di atmosfer sebanyak 3 ppm/tahun yang diikuti dengan kenaikan permukaan rata-rata air laut sebesar 3,1 mm/tahun dan kenaikan suhu rata-rata 0,05º C. Jika semuanya berjalan secara linier, kondisi udara saat musnahnya dinosaurus (yakni kadar CO2 1.000 ppm) memang baru akan tercapai pada 2215 alias 207 tahun lagi. Namun melelehnya semua es di permukaan Bumi (termasuk kutub) akan terjadi lebih cepat, yakni dalam 4/0,05 = 80 tahun lagi atau pada 2090 kelak. Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) bahkan menyebut kenaikan suhu 4ºC akan terjadi lebih cepat lagi, yakni dalam 70 tahun mendatang.
Meski ‘hanya’ 4ºC namun harap diingat bahwa 30 % makhluk hidup Bumi saat ini sangat sensitif terhadap perubahan suhu, sehingga kenaikan suhu global sebesar 2ºC saja sudah mampu memusnahkan mereka. Jika suhu global sampai naik 4ºC maka 30 % lahan basah akan hilang. Implikasinya tentu sangat luar biasa. Kemusnahan macam ini setara dengan dampak tumbukan masa Eosen (35 juta tahun silam) yang membentuk kawah Chesapeake Bay (diameter 95 km, lokasi New York dan Popigai (diameter 100 km), lokasi Russia timur).
So, tanpa harus menanti komet Armageddon jatuh menumbuk Bumi, kita manusia pun bisa menciptakan pemusnahan massal dalam 70 – 80 tahun ke depan. Rumusnya “sangat sederhana” : bakar semua bahan bakar fossil dan organik serta babat segala macam hutan.
Pemusnahan massal akibat pemanasan global, menurut IPCC, sebenarnya bisa dicegah jika emisi GRK (gas rumah kaca, yakni kumpulan gas CO2, CH4, SO2, SO3, NO2) dikendalikan hingga 2030 mendatang pada rentang 445 – 490 ppm, sehingga kenaikan suhu global bisa ditahan hanya mencapai 2 – 2,4º C. Namun kini kadar GRK di atmosfer sudah mencapai 400 – 515 ppm (angka tahun 2005), sehingga one-way ticket menuju pemusnahan massal memang sudah mulai kita pegang. Ditambah dengan kebebalan negara-negara maju yang tidak mau menurunkan tingkat emisi GRK-nya, menurunkan keserakahannya dan lebih memilih berjual beli karbon yang sungguh tidak ada kaitannya dengan upaya menurunkan emisi guna mendinginkan suhu Bumi, nampaknya tiket itu makin kuat tergenggam.
Wadow.. serem yah.. Ayo Bertindak!
Sumber: e-mail
Editor: Herwin
wadoh…!!!
gmn tar keturunan gue???
nyampe ga ya ampr keturunan ke 7???
waduh serem jg ya.ayo melestarikan bumi qt nh uda mulai tua..jng lupa ibadah jg cz dlm arti laen uda mendekati kiamat..