Indonesia tidak boleh menjadi green wash negara maju. Indonesia bukanlah pencuci dosa-dosa negara maju karena negara-negar ini terus berkelit dari kewajiban menurunkan emisi.
Demikian dikatakan Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar, pada pertemuan informal dengan Civil Society Forum on Climate Justice (CSF), di Poznan, Polandia, Rabu (10/12).
CSF sangat mendukung posisi Menteri Lingkungan ini. ”Jelas Indonesia tidak boleh menjadi negara “pencuci dosa-dosa” negara-negara maju.”tegas Giorgio Budi Indarto. Menurut juru Bicara CSF ini dari proses negosiasi COP-14, terlihat bagaimana kelompok negara yang tergabung dalam Anex-1 terus berkelit dari kewajiban menurunkan emisi, bahkan mereka berupaya mengalihkan kewajibannya kepada negara berkembang.
Dalam pertemuan khusus yang dilakukan di sela-sela berlangsungnya COP 14/CMP 5, CSF menyampaikan hal-hal terkait dengan proses negosiasi, Reduction Emission Degradation and Deforestation (REDD), dan Pasca 2012.
Menanggapi usulan CSF, Witoelar berjanji akan mengangkat kewajiban negara maju untuk melakukan deeper cut, pengakuan masyarakat adat dan lokal serta perlunya pengarusutamaan gender dalam penanganan perubahan iklim dalam pidato ministrial meeting yang akan digelar mulai tanggal 11 Desember.
Terkait REDD, Indarto menyampaikan agar pemerintah Indonesia tidak menilai hutan hanya sekadar sebagai stok karbon, namun harus dilihat juga nilai dari fungsi-fungsi keanekaragaman hayati yang lain. ”Sebaiknya juga, saat membicarakan hutan dalam penanganan perubahan iklim, Indonesia harus mengedepankan kepentingan tutupan hutan (forest cover) bukan hanya carbon stock dari tegakan pohon semata.” tambahnya lagi.
CSF mengingatkan agar pemerintah menempatkan keselamatan serta perlindungan hak-hak masyarakat, perempuan dan laki-laki sebagai pertimbangan utama dan penting dalam negosiasi. Jika REDD sebagai alternatif terakhir untuk menyelamatkan hutan akan diterapkan, maka mutlak diperlukan adanya kesiapan dari forest governance di tingkat nasional.
REDD dalam arti sebenarnya atau pengurangan emisi dari sektor kehutanan harus disepakati dengan cara yang partisipatif, transparan, adil, dengan mekanisme pembagian keuntungan yang adil sehingga tingkat deforestasi sangat tinggi di Indonesia dapat dikurangi tanpa meminggirkan masyarakat.
”Akan sangat baik jika di COP berikutnya di Copenhagen, Indonesia sudah memiliki tentang penerapan program pengurangan emisi dari kehutanan yang sesuai dengan koridor demokrasi” imbuh Indarto .
Untuk Pasca 2012, CSF menuntut agar Indonesia menyerukan secara tegas upaya penurunan emisi secara tajam (deeper cut) dan adanya kepemimpinan (leadership) dari negara maju untuk melakukan penurunan emisi tersebut dan keputusan final pada COP-15, komitmen yang terukur untuk pendanaan adaptasi dan mitigasi untuk negara non Annex-1 serta teknologi transfer.
Rachmat Witoelar menegaskan bahwa pemerintah Indonesia tetap akan menjamin pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak masyarakat adat dan lokal meskipun Witoelar mengakui dalam proses negosiasi yang terjadi, tidak sedikit para pihak yang menentang. Sehingga perundingan yang dihasilkan merupakan upaya kompromi yang maksimal .
Sumber: KCM