Hari ini gua ada nonton sebuah tayangan di tv tentang ulang tahun perkawinan yang ke-63 dari sepasang kakek dan nenek.
Gua kagum, gimana mereka punya banyak suka cita dalam kehidupannya, penuh tawa, tidak ada kepura-puraan, dan masih ada keromantisan. Terharu rasanya waktu liat si kakek memberikan bunga, lalu mencium istrinya di kedua pipi dan dahinya. Lalu si kakek menangis, mungkin itu ungkapan betapa bahagianya ia, betapa beruntungnya ia masih bisa bersama cintanya sampai saat ini.
Ketika ditanya, “kek, apa sih rahasianya bisa sampai beigtu?” si kakek cuma menjawab, “kesetiaan”. Sebuah kata sederhana, sering kita dengar, namun memiliki makna yang sangat dalam.
Bagaimana kalau dibandingkan dengan kenyataan sekarang? Dimana orang begitu mudah menyerah, dimana instan dan gampangan menjadi budaya, dimana orang berlomba-lomba memenuhi kepuasan duniawinya, dimana kesetiaan dianggap sebagai sesuatu yang naif, dimana selfishness and pride memenuhi hati manusia.
Sering gua menemukan orang-orang yang ketika berdiskusi tujuannya hanya ingin menunjukan “Saya Superior!”, terlihat dari cara mereka berbicara, dimana ketika orang lain salah, mereka lebih berusaha menjatuhkannya ketimbang memberi penjelasan. Sebaliknya ketika mereka salah, mereka berusaha mengelak dan kurang menerima penjelasan.
Bagaimana hubungan yang baik bisa tumbuh kalau setiap manusia memelihara sikap seperti itu?
Kemarin ada temen gua yang post di status dia, sebuah kutipan:
Apologizing does not always mean that you are wrong and the other person is right. It just means that you value your relationship more than your ego.
Tak ada manusia yang akan bertahan tanpa relationship, tak ada relationship yang akan bertahan tanpa kesetiaan, tak ada kesetiaan ketika ego terus dipertahankan, tak akan hilang ego tanpa kerendahan hati.