
Pernah ga kita terpikir, kenapa sih kebaikan itu lebih mudah dilupakan, sementara kesalahan cenderung membekas?
Kalau kita mengingat-ingat orang, apa yang keluar dari pikiran kita?
Apakah, “Oh, ini tukang telat, yang ini ngutang ga bayar, kalau yang ini tukang bohong. Wah, ngga deh kerjasama sama dia, orangnya mau terima beres, males kerja, banyak alasan.”?
Atau, bisakah kita mengingat, “Dia dulu suka ngajarin saya waktu kuliah, orang ini sering kasih saya tumpangan pulang, yang ini banyak memberikan masukan waktu saya lagi down, saya belajar banyak dari dia, yang ini sering ingetin saya untuk ke gereja.”?
Lebih mudah kita melabelkan orang dengan kesalahan daripada dengan kebikan-kebaikan yang dia buat. Satu kesalahan menghapuskan seribu kebaikan yang telah dibuat. Ada pepatah Bahasa Indonesia, “nila setitik rusak susu sebelanga”, dan juga, “air susu dibalas dengan air tuba” rasanya bisa menggambarkan hal ini.
Apakah mungkin karena kebaikan dianggap sesuatu yang wajar/seharusnya sehingga begitu mudah dilupakan? Bahkan bisa menuntut kebaikan dari orang lain?
Dalam perjalanan-Nya ke Yerusalem Yesus menyusur perbatasan Samaria dan Galilea. Ketika Ia memasuki suatu desa datanglah sepuluh orang kusta menemui Dia. Mereka tinggal berdiri agak jauh dan berteriak: “Yesus, Guru, kasihanilah kami!” Lalu Ia memandang mereka dan berkata: “Pergilah, perlihatkanlah dirimu kepada imam-imam.” Dan sementara mereka di tengah jalan mereka menjadi tahir. Seorang dari mereka, ketika melihat bahwa ia telah sembuh, kembali sambil memuliakan Allah dengan suara nyaring, lalu tersungkur di depan kaki Yesus dan mengucap syukur kepada-Nya. Orang itu adalah seorang Samaria. Lalu Yesus berkata: “Bukankah kesepuluh orang tadi semuanya telah menjadi tahir? Di manakah yang sembilan orang itu? Tidak adakah di antara mereka yang kembali untuk memuliakan Allah selain dari pada orang asing ini?” Lalu Ia berkata kepada orang itu: “Berdirilah dan pergilah, imanmu telah menyelamatkan engkau.”
Kesepuluh orang kusta – Lukas 17:11-19
Hal seperti itu juga tertulis dalam Alkitab, cerita tentang sepuluh orang kusta yang disembuhkan. Hanya satu yang kembali untuk mengucap syukur, yaitu orang yang merasa dirinya tidak pantas menerima kebaikan tersebut.
Sementara yang lain hilang entah kemana. Mungkin mereka sedang menikmati kesembuhan yang mereka pikir sudah sepantasnya dan sudah seharusnya mereka terima.
Mungkin sekarang saatnya untuk lebih menghargai kebaikan.