Sebagai generasi 90an, sekarang kita sudah berada di usia 20an – 30 tahun. Pernah ga sih kita mengalami quarter Life crisis: galau, khawatir, takut, kecewa, sendiri, ragu-ragu, tidak bisa membayangkan masa depan? Terutama dalam hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan atau karir, pernikahan, dan keuangan.
Saat kita mengingat impian masa kecil kita, “Usia 23 tahun saya akan mendirikan startup yang sukses, penghasilan saya di usia 25 tahun minimal 60.000.000 per bulan, memiliki investasi yang memberikan passive income minimal 30.000.000 per bulan, memiliki rumah 2 tingkat dengan taman yang luas dan mobil BMW seri 3 pada usia 27 tahun, menikah di usia 28 tahun, akan memiliki anak pada usia 30 tahun, saya mau punya 2 orang anak, seorang perempuan dan seorang laki-laki.”
Seketika kita tersadar, “Ya Tuhan, beberapa bulan lagi saya 30 tahun. Single. Penghasilan pas-pasan.”, semua deadline sudah terlewat dan kita masih sangat jauh dari target yang kita pasang saat muda dulu.
Kepala mulai berputar, pikiran kacau, hati kecewa, sedih sekaligus marah, panik. Kita mulai mempertanyakan diri sendiri, mengapa hidup ini serasa ga berharga, ga ada manfaat, bukan siapa-siapa. Bagaimana masa depan nanti? Apa saya bisa bertahan? Apa hidup saya akan berantakan?
Ditambah lagi ketika membuka social media kita melihat teman-teman kita hidupnya seolah begitu bahagia, tidak ada beban, mencapai taraget-target yang kita pasang, malahan melebihi itu. Bahkan orang-orang yang lebih muda sudah mendapat apa yang kita impi-impikan. Secara tidak sadar kita membandingkan diri kita dengan orang lain, kita merasa ga ada apa-apanya, merasa gagal, dan terpuruk.
Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Apakah saya gagal? Apakah ini hanya terjadi pada saya?
Quarter life crisis is a period of insecurity, doubt and disappointment surrounding your career, relationships and financial situation” in your 20s.
Alex Fowke – Clinical psychologist
Ya, seperti kutipan di atas, kita sedang berada dalam periode quarter life crisis.
Quarter life crisis itu apa? Quarter life crisis adalah suatu periode dalam hidup kita biasanya diantara usia 20 sampai 30an dimana kita dipenuhi dengan rasa tidak tenang, tidak puas, kosong, khawatir, dan kecewa tentang kehidupan kita sekarang dan bayangan kita akan masa depan, terutama dalam bidang pekerjaan atau karir, hubungan percintaan, dan keuangan.
Tenang, kamu tidak sendirian.
Jadi, siapa yang bisa terkena quarter life crisis ini? Menurut studi yang dilakukan LinkedIn pada tahun 2017, 75% dari orang yang berusia 25-33 tahun mengalami quarter life crisis. Rata-rata mulai mengalaminya pada usia 27 tahun, dan quarter life crisis ini berlangsung selama 11 bulan atau lebih.
Seorang penulis di The Guardian pernah melakukan survey, mereka yang mengalami quarter life crisis ini kebanyakan adalah orang yang memiliki ambisi tinggi, berpendidikan, dan memiliki potensi untuk berhasil.
Kenapa orang mengalami quarter life crisis?
Dr. James Arkell seorang psikiatri berkata, dia memiliki banyak pasien usia 20an yang tampan dan berbakat, namun mereka tidak menyukai dirinya sendiri. Apa yang menyebabkan mereka tidak menyukai dirinya sendiri adalah lingkungan dan tekanan sosial yang “memaksa” mereka mengikuti standard yang tidak realistis. Ada gap yang besar antara dimana saya pikir seharusnya saya berada dengan dimana saya berada saat ini. Mereka kehilangan tujuan.
Satu lagi, karena kita sekarang ini sangat mengandalkan kekuatan sendiri. Kita hidup pada masa yang damai dan dengan konsumerisme tinggi. Tidak ada peperangan, tidak ada kelaparan, hampir tidak ada yang mengancam kehidupan kita. Dari sebab itu iman dan kebutuhan akan Juru Selamat menjadi tidak utama. Padahal sesuatu yang religius menolong kita untuk melihat sesuatu lebih intrinsik daripada sekedar melihat performa karir atau penampilan.
Siapa yang dapat mengalami quarter life crisis?
Ketika kita berbicara mengenai kegalauan ini pada orang tua kita, mungkin mereka tidak akan benar-benar mengerti dan akan memberikan solusi yang pragmatis. “Jika penghasilan tidak cukup, cari kerja yang lain, atau pindah ke kota lain.” Hubungan mereka dengan pekerjaan lebih sebatas uang daripada kepuasan batin.
Generasi millennial, kita yang lahir pada tahun 1980an sampai 1990an, yang sekarang meninjak usia 20an sampai 30an. Kita memiliki sangat banyak pilihan, di sisi lain tidak memiliki stabilitas. Gaya hidup yang tinggi membuat kita hidup dari hari ke hari tanpa bisa menabung untuk masa depan. Hal ini menyebabkan kita melihat masa dengan sebagai sesuatu yang menakutkan dan suram.
Generasi kita memiliki banyak pilihan, banyaknya pilihan ini membuat kita menjadi stress dan takut salah. Hal-hal yang ingin dicapai dalam hiduppun menjadi beragam, tidak lagi asal cukup makan, tidak lagi hanya cukup memiliki keluarga, namun sampai ingin memiliki mobil mewah, memiliki rumah dengan kolam renang, pergi ke Alaska, memiliki pekerjaan yang menyenangkan, dan lain sebagainya. Hal-hal ini terus menekan kita, so we live in future rather than present.
Ditambah lagi dengan serbuan social media, dimana dengan mudah kita akan membandingkan diri kita dengan satu sisi kebahagiaan orang lain tanpa pernah mengetahui sisi lainnya. Kita juga selalu ditawarkan dengan “better options”, selalu ada pilihan yang lebih baik, hal ini menjadikan kita orang-orang yang tidak pernah merasa puas.
Lalu, bagaimana mengatasi quarter life crisis?
You can go faster and faster and faster and get nowhere. Sometimes it’s important to accept your life for how it is now, even if it’s not where you want to be yet.
Dr. Arkell
Duduklah dengan tenang, bernapas dalam-dalam, sadari betapa beruntungnya kita sekarang. Ketika kita masih dapat makan dengan cukup, masih memiliki keluarga dan teman, tubuh yang sehat. Hal ini harus selalu menjadi motivasi kita untuk terus berbuah, dan fokus one step at a time.
You have your own journey, your own destination, run with your own pace. Kebahagiaan itu ada sekarang, bukan nanti. Kebahagiaan adalah perjalanan itu sendiri, bukan tujuan. Jangan berlari di pertandingan orang lain.
Ketika merasa terhimpit, merasa tidak berguna, tidak punya tujuan, ingat kita tidak sendiri, orang lain juga merasakan hal yang sama, dan percayalah everything happens for a reason, masa-masa ini akan menjadi cerita kita di masa yang akan datang. Apa yang kita lalui sekarang akan berguna di masa depan.