Belakangan ini masalah mental atau psikologis menjadi hal yang cukup sering dibahas. Dopamin, serotonin, oksitosin, endorfin, stress, meditasi, inner child, dll menjadi bahasa yang umum. Orang-orang semakin sadar mengenai pentingnya kesehatan mental, informasi mengenai kesehatan mental juga sudah semakin banyak, mudah diakses, dan dibuat mudah dipahami.
Selain itu, masalah mental memang banyak terjadi belakangan ini, dan sedang menyerang generasi-generasi muda.
Memasuki peradaban yang semakin modern, khususnya di era internet, batasan-batasan menjadi pudar. Semakin banyak waktu yang kita alihkan dari dunia nyata ke dunia digital, scrolling Instagram, Tiktok, nonton YouTube, main Tinder, dll, yang jika disetahunkan, kita pun akan terkaget-kaget betapa banyak waktu terbuang di sana.
Selain waktu, mental kita pun terkuras. Orang-orang mulai mengalami masalah mental, khawatir dengan status sosial, jumlah like, jumlah view, kebanjiran informasi baik yang bermafaat maupun tidak, kegelisahan, membandingkan diri dengan orang lain, hilang gambar diri, sulit fokus / sulit konsentrasi, sulit tenang, malas, fear of missing out, merasa ketinggalan jika tidak mendapat update dalam beberapa waktu, dan banyak masalah lainnya.
Aplikasi-aplikasi tersebut sengaja dirancang sedemikian rupa sehingga penggunanya kecanduan dan menghabiskan banyak waktu di dalam aplikasi. Mereka dirancang untuk bisa memberikan kepuasan, kesenangan instan, atau yang belakangan kita kenal dengan cheap dopamine.
Satu film semi dokumenter yang tayang di Netflix, The Social Dilemma, cukup menggambarkan latar belakang dari aplikasi-aplikasi ini, apa yang mereka tuju, dan apa motif dibalik perkembangannya.
Kecanduan kita, banyaknya waktu yang kita habiskan, itulah keberhasilan mereka.
Dopamin adalah zat kimia yang dilepaskan di otak yang membuat kita merasakan kesenangan, kepuasan, dan motivasi.
Dopamin bisa memotivasi kita untuk berubah, mengejar sesuatu yang lebih tinggi, mempersiapkan masa depan yang lebih baik, atau justru bisa menjerat kita ke dalam kecanduan terhadap kesenangan yang murahan seperti: narkoba, social media, shopping, makanan cepat saji / junk food, alkohol, judi, dll.
Semakin tinggi harapan kita, semakin sedikit dopamin yang dilepas ke otak.
Misalnya, jika mendapatkan 20 like di Instagram sebelumnya terasa menyenangkan, sekarang kita membutuhkan 50 like untuk merasakan tingkat kepuasan yang sama. Lalu 100. Dan seterusnya…
Begitulah cara dopamin memicu kecanduan.
Smartphone memberi kita rangsangan sosial yang hampir tak terbatas, positif maupun negatif. Setiap notifikasi, baik itu chat, like di Instagram, jumlah view, notifikasi belanjaan, semua itu berpotensi menjadi stimulus dan memberikan dopamin ke otak.
Dopamin juga berperan dalam mengontrol memori, suasana hati, tidur, belajar, konsentrasi, dan gerakan tubuh. Studi menunjukkan hubungan antara penggunaan smartphone dan peningkatan kecemasan dan depresi, kualitas tidur yang buruk, dan peningkatan risiko kecelakaan atau kematian.
Memiliki jumlah dopamin yang tepat penting untuk tubuh dan otak kita.
Bagaimana social media memanfaatkan dopamin untuk kepentingan mereka?
Variable reward schedules diperkenalkan oleh psikolog B.F. Skinner pada tahun 1930-an. Dalam eksperimennya, ia menemukan bahwa tikus paling sering merespons rangsangan terkait hadiah ketika hadiah diberikan setelah serangkaian usaha berbeda, sehingga menghalangi kemampuan hewan untuk memprediksi kapan mereka akan mendapat hadiah.
Manusia tidak berbeda; jika kita tidak bisa memprediksi kapan akan diberi “hadiah” (interaksi sosial / notifikasi), dan jika memeriksa hadiah itu hanya dengan sedikit usaha, kita akhirnya akan memeriksa itu terus menerus. Jika kita perhatikan, kita mungkin menyadari kadang kita memeriksa handphone dengan sedikit rasa bosan, murni karena kebiasaan. Developer aplikasi bekerja sangat keras di belakang layar untuk membuat kita melakukan hal itu.
Contoh lain, Instagram akan mencoba menahan notifikasi like pada foto kita dan mengirimkannya pada satu waktu dalam jumlah yang banyak. Dengan begitu kita akan merasa kecewa karena post kita tidak mendapat respon dari temen-teman kita (tidak mendapat validasi sosial), lalu kemudian mendapat tanggapan dalam jumlah yang banyak sekaligus. Perubahan dari “tidak mendapat respon” menjadi “mendapat banyak respon”, dari hasil negatif tiba-tiba menjadi positif, akan mendorong pelepasan dopamin yang kuat hingga kita kegirangan. Trik ini akan terus bekerja sampai kita menjadi kecanduan.
Detox
Smartphone dan social media tidak akan punah dalam waktu dekat, jadi ini semua tergantung keputusan kita sebagai pengguna, berapa banyak waktu yang ingin kita habiskan untuk aplikasi-aplikasi ini, seberapa ingin kita dikendalikan oleh mereka?
Sejauh apapun, aplikasi seprti Instagram, TikTok, Facebook, dll akan terus berusaha untuk agar mata kita tidak lepas dari layar aplikasi mereka, karena kita adalah sumber keuntungan mereka.
Jika kita ingin mencoba melepaskan diri dari kecanduan ini (a.k.a. detox), mungkin ada beberapa cara yang bisa dicoba, seperti mematikan notifikasi untuk aplikasi social media, mengubah layar menjadi hitam putih agar tidak terlalu menarik perhatian kita, menggunakan fitur screen time balance, logout dari aplikasi-aplikasi social media, bahkan mencoba untuk puasa social media.
Namun di atas itu semua, diri kita sendiri, pikiran kita, yang harus mengambil keputusan, menyadari bagaimana tekonologi ini harus kita gunakan, bukan sebaliknya “menggunakan” kita.
Jadi, kedepannya ketika kita mengambil handphone dan mulai ingin membuka Instagram, coba tanya ke diri sendiri, “Apakah ini penting? Apakah tidak ada hal lain yang lebih penting? Is this really worth my time?”
Referensi:
- Dopamine (healthdirect.gov.au)
- Dopamine, Smartphones & You: A battle for your time (harvard.edu)
- Is cheap dopamine ruining your life? (theredefinedself.com)
Tulisan ini saya buat atas trigger dari sebuah video yang saya tonton beberapa hari yang lalu, Generasi Pamer Harta dan “Kaya Boong-boogan” | Milenial suka EASY MONEY?! oleh Agusleo Halim.